Pada
8 Juli 2001, untuk pertama kalinya Tarbiyah menyebut dirinya Tarbiyah,
secara langsung. Lewat sebuah seminar yang bertajuk “Tarbiyah di Era
Baru” yang digelar di Masjid Salam Universitas Indonesia, Depok.
Bahkan,
dalam momentum ini pula, para aktivis Tarbiyah bersepakat mendaulat
K.H. Rahmat Abdullah, yang saat itu menduduki jabatan Ketua Majelis
Pertimbangan Partai Keadilan sebagai Syaikhut Tarbiyah, sang Syaikh
Tarbiyah. Sebuah babak baru yang lain dari gerakan Tarbiyah yang sempat
pula disebut dengan Jamaah Usrah ini.
Pada tahun 2001 atau 1442 H, lewat sebuah seminar, dicanangkan sebagai tahun kebangkitan Tarbiyah Islamiyah di Indonesia.
Tarbiyah
adalah sebuah babak baru dari sebuah gerakan Islam di Indonesia. Tak
jelas tahun berapa, Tarbiyah yang sering disebut-sebut sebagai anak yang
lahir dari pemikiran gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir ini hadir dan
mulai tumbuh di Indonesia.
Tetapi,
jejaknya masih bisa dirunut lewat pemikiran M. Natsir yang pernah
bersentuhan dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin. Sebelumnya, bahkan
pernah tercatat sebuah partai bernama Perti, Persatuan Tarbiyah.
Bahkan,
Ketua Partai Masyumi ini pernah mengirim tokoh Masyumi yang lain, K.H.
Bustami Darwis, seorang ulama Sumatera Barat yang menetap di Bandung
untuk mempelajari secara khusus konsep pendidikan dan pengkaderan yang
dicetuskan oleh Hasan Al-Banna itu.
K.H.
Bustami Darwis sendiri pernah mendapat gemblengan langsung dari tokoh
Ikhwanul Muslimin, salah satunya Abul Hasan Ali An-Nadwi ketika bermukim
di India.
Tak
jelas benar apa yang telah dihasilkan dan dirintis atas persentuhan dan
usaha dua tokoh tadi, M. Natsir dan K.H. Bustami Darwis dengan
pemikiran Ikhwanul Muslimin. Tetapi, diam-diam, ada sebuah gairah baru
dalam ber-Islam yang tumbuh, khususnya di kalangan anak-anak muda,
terutama di kampus universitas dan perguruan tinggi. Anak-anak muda yang
sebelum 1998, membangun semacam dunia tersendiri dan komunitas yang
lain. Gadis-gadis yang aktif dalam gerakan baru yang masih serba
“misterius”, di awal 1970-an sudah mulai mengenakan jilbab. Para prianya
pun punya tradisi baru, memelihara jenggot sebagai tanda pengikut
sunnah.
Orde
Baru yang berada pada puncak-puncak kekuasaannya pada 1970-an sampai
1980-an, punya peran tersendiri dalam kelahiran generasi yang kelak
disebut dengan generasi Tarbiyah ini.
Seperti
air, Orde Baru yang demikian represif membuat anak-anak muda dari
generasi awal Tarbiyah mencari jalan dan celahnya sendiri untuk
menyiasati situasi. Orde Baru memang belum bisa diruntuhkan dan dijebol,
tapi parit-parit kecil yang berupa pertemuan dari rumah ke rumah, dari
daurah ke daurah (pelatihan dan pendidikan yang bersifat keagamaan yang
sering dilaksanakan oleh aktivis Tarbiyah) dengan rutin dan masif
dilakukan oleh generasi awal ini.
Selain
dari tumah ke rumah, dan dari satu daurah ke daurah lainnya, yang
dilakukan sebagai reaksi atas represifnya penguasa, sebenarnya ada
fenomena lain yang dimunculkan oleh Orde Baru atas gerakan ini. Fenomena
itu adalah dibukanya kesempatan pendidikan, khususnya di tingkat
perguruan tinggi karena perbaikan angka ekonomi Indonesia pada
tahun-tahun itu. Saya memang belum punya detail data tentang hal ini,
tapi secara sepintas bisa disimpulkan bahwa ini berarti pula kesempatan
baru yang tercipta bagi embrio gerakan Tarbiyah.
Membanjirinya
anak-anak muda yang memasuki dunia kampus, menciptakan parit tersendiri
untuk air yang terus mencari celah agar terus mengalir.
Akhirnya,
kampus, diakui atau tidak, menjadi semacam inkubator bagi proses
gerakan Tarbiyah. Masa kuliah telah menjadi masa inkubasi bagi para
aktivis dakwah tarbiyah. Masjid-masjid kampus mulai makmur dengan
kehadiran mereka, jilbaber-jilbaber pun kian tahun kian banyak ditemui
di dalam kampus. Dan, yang paling signifikan adalah, tak hanya ilmu-ilmu
eksakta dan humaniora yang mereka pelajari dari kampus-kampus tempat
mereka kuliah, tapi juga ilmu-ilmu agama lewat daurah dan dakwah gerakan
Tarbiyah.
Meskipun
setiap tahun populasi Tarbiyah kian signifikan di berbagai universitas
baik negeri maupun swasta, belum juga membantu mengidentifikasikan apa,
siapa, dan bagaimana gerakan ini. Mereka ada, tapi susah dipetakan,
mereka signifikan, tapi sulit dijelaskan.
Seorang
sahabat saya yang menulis “Fenomena Tarbiyah dan Partai Keadilan”, Ali
Said Damanik dalam skripsi S1 di FISIP UI, dengan sangat menarik
menuliskannya.
“Mereka
anak-anak muda yang berbasis di mushala dan masjid-masjid kampus ini
menciptakan ruang maya di tengah masyarakat. Mereka bisa menciptakan
sebnuah ruang kultural yang bisa dilihat, tapi sulit untuk dilacak dan
dibuktikan eksistensinya. Masyarakat sempat dibuat bingung dengan
anak-anak muda yang terus lahir, tumbuh, dan hidup di tengah-tengah
mereka sendiri, tetapi berbeda ekspresinya dengan masyarakat
kebanyakan.”
Mereka
terus bergerak, membangun pertumbuhan-pertumbuhan lewat liqo-liqo atau
halaqoh yang setiap pekan rutin mengadakan pertemuan. Liqo dalam bahasa
asalnya, Arab, berarti pertemuan, dan halaqoh adalah kelompok dari
pertemuan itu. Tetapi, dalam komunitas Tarbiyah, kata tersebut digunakan
untuk terminologi pertemuan dalam rangka pembinaan, baik tentang
pemahaman Islam, moral dan akhlak, dakwah dan sosial maupun tentang
pendidikan politik dan juga pemikiran.
Pada
mulanya, liqo dilakukan dengan sedikit tersembunyi atau tidak terlalu
terbuka. Sekali lagi, maklum, sebab utamanya adalah Orde Baru dan
kekuasaan yang tak menghendaki kekuatan lain tumbuh dan menguatkan diri.
Tetapi, kian lama kegiatan-kegiatan liqo semakin terbuka, karena
memang, tidak satu pun rahasia atau semacam agenda konspirasi yang
dibahas dalam pertemuan-pertemuan semacam ini. Liqo membahas
masalah-masalah pendidikan karakter dan pribadi, mengajak orang dalam
kebaikan, dan berbagi pengalaman dalam konteks keberagamaan .
Liqo
bisa di mana saja. Di rumah-rumah anggota kelompok, di masjid atau
mushala kampus, di bawah pohon rindang, bahkan di Kebun Raya Bogor yang
sejuk dan penuh keindahan.
Yang
menarik dari perkembangan gerakan Tarbiyah ini, dari dulu hingga
sekarang, sebagian besar para aktivisnya adalah para sarjana atau
mahasiswa dari bidang ilmu-ilmu eksakta. Sarjana matematika, biologi,
kimia, dan fisika, teknik mesin atau sipil adalah mayoritas penghuni
gerakan ini.
Bahkan,
kini dikabarkan aset Tarbiyah yang kelak “dimerger” ke dalam Partai
Keadilan Sejahtera berupa orang-orang pintar di ilmu eksakta sebanyak
lebih dari 200 doktor dan Ph.D. Mulai dari kimia, fisika, pertanian,
sampai teknik nuklir. Sebuah fenomena yang belum tentu dimiliki oleh
partai-partai besar lainnya yang sudah lebih dulu ada di Indonesia,
seperti Golkar, PPP, bahkan PDIP sekalipun.
Tentang
fenomena ini, ketika memberikan taujih, ustad Anis Matta pernah
menjelaskan kepada saya ketika saya menanyakan fenomena tersebut. Beliau
mengatakan, “orang-orang eksakta biasanya menerima kebenaran sebagai
kebenaran, lalu mengikutinya tanpa banyak pertanyaan. Berbeda dengan
berdakwah di kalangan ilmu sosial, bahkan lebih berat lagi di kalangan
art. Mereka selalu dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang luar
biasa.”
Proses itu menghasilkan dua efek yang kahirnya memperbanyak fenomena kemunculan mayoritas kaum eksakta dalam gerakan dakwah ini.
Efek
pertama, datang dari kaum eksakta yang sering kali tak memerlukan
penjelasan yang rumit untuk tertarik pada sesuatu yang dianggap benar.
Dan ini multiplayer effect, sebab, major eksakta pada masa itu menjadi
jurusan yang favorit dan biasanya jurusan favorit akan mempunyai daya
magnetis tersendiri untuk terus menghasilkan simpatisan yang kelak
berproses menjadi kader dakwah Tarbiyah.
Efek
kedua yang dimunculkan adalah, adanya semacam keengganan di antara pada
kader dakwah tarbiyah untuk terjun dan melakukan rekruitmen kaderisasi
di ranah ilmu-ilmu sosial dan art. Karena itu tadi, banyak pertanyaan
yang harus dijawab sementara kesiapan untuk memberikan jawaban terlalu
minim.
Keminiman
para kader dakwah Tarbiyah dalam memberikan jawaban yang diharapkan
oleh kaum di ilmu sosial atau art, sebetulnya sebuah keminiman yang bisa
dianggap positif menurut saya. Sebab, mereka digedor-gedor oleh
semangat saling berbagi dalam kebaikan lewat dakwah mereka. Bagaimanapun
minimnya ilmu yang mereka kuasai, justru dari situlah yang memacu
pertumbuhan gerakan ini.
Salah
satu yang layak dicatat sebagai faktor penentu perkembangan dakwah
gerakan Tarbiyah ini adalah semangat mereka untuk berbagi kebaikan,
seluas mungkin, sebanyak mungkin. Para aktivis Tarbiyah tak menunggu
sampai memiliki bertumpuk-tumpuk ilmu, beratus-ratus hafalan hadits atau
berjuz-juz hafalan qur’an untuk berdakwah.
Satu
hadits yang mereka dapatkan dalam pertemuan mingguan, atau satu ayat
yang mereka bahas dalam liqo akan segera mereka sebarkan dengan semangat
berbagi kebaikan, berbagi ilmu, dan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Mereka mencoba benar-benar mengaplikasikan sebuah hadis dan ayat
Al-Qur’an yang berbunyi, Balighu anni walau ayah. Sampaikan dariku walau
hanya satu ayat.
bagian ke-3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar