Oleh: Farid Nu’man Hasan
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Wr Wb.
Ustadz afwan mau tanya/diskusi banyak, tapi satu2 aja.
Pertama tentang memilih pemimpin.
1. Bolehkan kita memilih pemimpin (selain Imamah Udzma) yang beliau itu kafir?
2. Lalu bolehkan kita memilih pemimpin yang munafik atau fasik?
3. kemudian bolehkan kita memilih pemimpin wanita? Dan wanita tersebut tidak mencerminkan sebagai wanita muslimah. Baik dari busana maupun akhlak.
4. Lalu bolehkan kita memilih pemimpin ahli maksiyat (judi, mabuk, selingkuh, korupsi,dsb?
Dan kalau diperbolehkan itu saat kondisi seperti apa? JazakAlloh... (@Verry)
Ustadz afwan mau tanya/diskusi banyak, tapi satu2 aja.
Pertama tentang memilih pemimpin.
1. Bolehkan kita memilih pemimpin (selain Imamah Udzma) yang beliau itu kafir?
2. Lalu bolehkan kita memilih pemimpin yang munafik atau fasik?
3. kemudian bolehkan kita memilih pemimpin wanita? Dan wanita tersebut tidak mencerminkan sebagai wanita muslimah. Baik dari busana maupun akhlak.
4. Lalu bolehkan kita memilih pemimpin ahli maksiyat (judi, mabuk, selingkuh, korupsi,dsb?
Dan kalau diperbolehkan itu saat kondisi seperti apa? JazakAlloh... (@Verry)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa man waalah, wa ba’d:
1. Tentang memilih orang kafir sebagai pemimpin selain Imamatul ‘uzhma.
Hal itu tetap terlarang secara mutlak, sesuai keumuman ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al Maidah: 51)
Larangan dalam ayat ini umum, tidak mengkhususkan pada satu jenis dan level kepemimpinan. Dan, tidak ada keterangan dalam Al Quran dan As Sunnah bahwa larangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin hanya khusus berlaku bagi imamatul ‘uzhma saja. Maka, berlakulah larangan ini secara umum; bahwa orang-orang beriman dilarang memilih orang kafir sebagai waliyul amri bagi mereka di semua level kepemimpinan.
وَلِيُّ (Waliy) jamaknya adalah أَوْلِيَاء (Auliyaa’) yang artinya –sebagaimana kata Imam Ibnu Jarir Ath Thabari- adalah para penolong (Anshar) dan kekasih (Akhilla). (Jami’ul Bayan, 9/319)
Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, dan yang mengusai (pemimpin). (Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582)
Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, dan yang mengusai (pemimpin). (Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582)
Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan bahwa Al Waliy adalah An Naashir (penolong/pembantu). (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa untuk Ali Radhilallahu ‘Anhu:
اللهم والِ مَنْ والاه
“Allahumma waali man waalaahu.” (HR. Ibnu Majah No. 116, Al Hakim No. 4576, Abu Ya’la No. 6423, 6951, Ibnu Hibban No. 6931, Ahmad No. 950, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Ta’liq Musnad Ahmad mengatakan: shahih lighairih)
Apa artinya? Syaikh Ibnu Manzhur mengatakan tentang makna terhadap doa ini:
أَي أَحْبِبْ مَنْ أَحَبَّه وانْصُرْ من نصره
“Yaitu cintailah orang yang mencintainya dan tolonglah orang yang menolongnya.” (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)
Dengan demikian Waliy adalah sesuatu tempat kita berteman dekat, minta bantuan dan pertolongan, kekasih, pemimpin, dan yang mengurus urusan kita.
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah memberikan keterangan dengan sebuah kisah Abu Musa Al Asy'ari Radhiallahu ‘Anhu yang mengangkat seorang sekretaris dari Syam yang beragama Nashrani, lalu Umar Radhiallahu 'anhu merasa heran dan mencegah pengangkatan itu, lalu Umar Radhiallahu 'Anhu mengutip ayat di atas. (Tafsir Al Quran Al 'Azhim, 3/123)
Allah Ta'ala menyebut munafik kepada orang yang sengaja memilih orang kafir sebagai pemimpin, padahal dia tahu ada orang beriman yang seharusnya diangkat menjadi pemimpin:
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (138 (الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (139(
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi waliy dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS. An Nisa: 138-139)
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi waliy dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS. An Nisa: 138-139)
Lalu bagaimana dengan umat Islam yang terlahir di negeri mayoritas non muslim seperti di Eropa atau Amerika, atau sebagian kecil di tanah air kita? Maka, untuk mereka boleh saja memilih atau tidak memilih tergantung kondisinya. Jika calon yang ada adalah sama-sama kafir dan membenci Islam, dan semua calon yang ada sama-sama memusuhi kaum muslimin, maka hendaknya golput saja. Tetapi, jika dari calon yang ada terdapat orang yang lebih ringan permusuhannya dengan Islam, maka dia boleh saja dipilih dengan asumsi dan harapan potensi kezaliman yang akan menimpa umat Islam juga lebih ringan jika dia yang menjadi pemimpin. Sesuai kaidah Al Irtikab Akhafu Dharurain, menjalankan mudharat yang lebih ringan untuk menghindari mudharat yang lebih besar. Saat itu tidak bisa dikatakan mereka telah memberikan wala’ (loyalitas) kepada orang kafir, sebab mereka melakukan itu secara terpaksa.
2. Bolehkah memilih pemimpin orang munafik?
Memilih orang munafik sebagai pemimpin, kawan dekat, dan penolong kita, juga terlarang dalam syariat. Hal itu ditegaskan dalam ayat berikut:
فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَنْ تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا (88) وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا (89)
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, Padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai waliy (pemimpin), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong. (QS. An Nisa: 88-89)
Maka, larangan menjadikan orang munafik sebagai pemimpin adalah jelas dan gamblang, sebab hakikatnya mereka adalah kafir sebagaimana yang disebutkan oleh ayat di atas. Namun, yang menjadi masalah adalah siapakah orang munafik itu? Apakah dengan seenaknya seorang muslim menyebut muslim lainnya adalah munafik? Misal dengan ringan kita berkata: “Si Fulan munafik karena dia telah begini dan begitu ....,” apakah semudah itu? Tentu tidak. Selama belum ada bukti kuat bahwa orang tersebut adalah musuh dalam selimut yang berpura-pura sebagai seorang muslim yang baik, padahal dia merusak Islam dan kaum muslimin. Maka, selama itu pula kita menilai mereka sesuai zhahirnya, bahwa dia seorang muslim.
3. Bolehkah mengangkat orang fasik dan ahli maksiat sebagai pemimpin?
Pertanyaan nomor dua (memilih orang fasik sebagai pemimpin) dan nomor empat (memilih ahli maksiat sebagai pemimpin), kami gabungkan saja, karena orang dikatakan fasik disebabkan maksiat yang dilakukannya.
Semua bentuk kefasikan dan maksiat adalah penghalang seseorang diangkat menjadi pemimpin, sebab pemimpin kaum beriman adalah juga kaum beriman yang sejati; mereka shalat, zakat, dan tunduk kepada aturan-aturan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Sesungguhnya waliy kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. Al Maidah: 55)
Bahkan jika seorang yang menjadi pemimpin, dalam perjalanan kepemimpinannya mengalami perubahan, dia menjadi fasik dan berbuat maksiat, hal itu membuatnya boleh dicopot dari jabatannya menurut sebagian ulama.
Berikut ini pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthaniyah tentang keadaan yang membuat dibolehkannya dicopotnya seorang pemimpin:
وإذا قام الإمام بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم ، ووجب له عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان : أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه .
فأما الجرح في عدالته وهو الفسق فهو على ضربين : أحدهما ما تابع فيه الشهوة .
والثاني ما تعلق فيه بشبهة ، فأما الأول منهما فمتعلق بأفعال الجوارح وهو ارتكابه للمحظورات وإقدامه على المنكرات تحكيما للشهوة وانقيادا للهوى ، فهذا فسق يمنع من انعقاد الإمامة ومن استدامتها ، فإذا طرأ على من انعقدت إمامته خرج منها ، فلو عاد إلى العدالة لم يعد إلى الإمامة إلا بعقد جديد .....
Jika imam (pemimpin) sudah menunaikan hak-hak umat seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka otomatis ia telah menunaikan hak-hak Allah Ta’ala, hak-hak mereka, dan kewajiban-kewajiban mereka. Jika itu telah dia lakukan, maka dia punya dua hak dari umatnya. Pertama, ketaatan kepadanya. Kedua, membelanya selama keadaan dirinya belum berubah.
Ada dua hal yang dapat merubah keadaan dirinya, yang dengan berubahnya kedua hal itu dia mesti mundur dari kepemimpinannya:
1. Adanya cacat dalam ke- ’adalah-annya.
2. Cacat tubuhnya
Ada pun cacat dalam ‘adalah (keadilan) yaitu kefasikan, ini pun ada dua macam; Pertama, dia mengikuti syahwat; Kedua, terkait dengan syubhat.
Bagian pertama (fasik karena syahwat) terkait dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia menjalankan berbagai larangan dan kemungkaran, baik karena menuruti hawa syahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin), dan juga sebagai pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya. Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri dari imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah tidak otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. .......... (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28. Mawqi’ Al Islam)
Namun demikian, jika tidak ada pilihan lain kecuali pemimpin muslim tapi fasik, itu masih lebih baik dibanding memilih orang kafir walau nampaknya baik hati kepada kaum muslimin. Hal ini sesuai kaidah Al Irtikab Akhafu Dharurain (memilih mudharat paling ringan di antara dua mudharat). Sebab, seorang muslim yang fasik tetaplah dia masih memiliki tauhid yang dengannya merupakan modal untuk kembali ke jalan yang benar, ada pun orang kafir walau pun adil, dia memiliki pondasi dan modal untuk memusuhi kaum muslimin, sebab apa yang di hati lebih besar kebenciannya dibanding apa yang mereka tampakkan.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآَيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Ali ‘Imran: 118)
3. Memilih pemimpin wanita yang tidak bagus akhlaknya
Tidak ada perselisihan pendapat, bahwa buruknya akhlak adalah penghalang seseorang diangkat menjadi pemimpin, terlebih lagi jika dia seorang wanita.
Perselisihan yang terjadi adalah jika wanita itu shalihah, adil, cakap dalam memimpin; di sisi lain tak ada laki-laki yang kualitasnya sama sepertinya. Apakah saat itu wanita lebih baik dijadikan pemimpin? Ataukah tetap memaksakan laki-laki menjadi pemimpin betapa pun bengis dan bodohnya dia? Ataukah ini termasuk keadaan yang dikecualikan? Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, melarang secara mutlak, ini adalah pendapat imam empat madzhab dan jumhur (mayoritas). Mereka berdalil dengan keumuman ayat Al Quran:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. ... (QS. An Nisa: 34)
Ayat ini tentang kepempimpinan laki-laki di rumah tangga, namun juga berlaku umum dalam semua level kepemimpinan, sesuai kaidah qiyas aula, yakni jika wanita bukan pemimpin di dalam keluarga, maka ditingkatan yang lebih besar dari itu dia lebih bukan lagi sebagai pemimpin.
Dalil dari Sunah adalah:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ
لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Dari Abu Bakrah, katanya: Sungguh Allah telah memberikan manfaat dengan kata-kata yang pernah kudengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada saat perang Jamal, setelah sebelumnya hampir saja aku mengikuti tentara Jamal (yaitu pasukan yang dipimpin oleh Aisyah yang mengendarai unta) dan berperang mendukung mereka. Lalu dia mengatakan: Ketika sampai berita kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, maka beliau bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.” (HR. Bukhari No. 4425)
Hadits ini sangat jelas mengecam kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin mereka.
Kedua, melarang hanya pada level imamatul ‘uzhma (imam tertinggi seperti jabatan khalifah atau presiden untuk zaman sekarang), sedangkan kepemimpinan di bawah level itu tidak apa-apa. Sebab, saat itu wanita tetap masih di bawah komando laki-laki. Mereka yang mendukung pendapat ini adalah Imam Abu Hanifah, Imam Ibnu Hazm, Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Muhammad Al Ghazali, dan lain-lain.
Alasan kelompok ini adalah karena Khalifah Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu pernah mengangkat seorang wanita menjadi kepala pasar, padahal kaum laki-laki masih banyak yang mampu. Maka, kedudukan wanita tersebut sebagai pemimpin masih di bawah kendali Khalifah Umar. Saat itu tidak ada sahabat nabi lainnya yang menentang hal ini. Ada pun hadits dari Abu Bakrah di atas, adalah kepemimpinan wanita dalam urusan pemerintahan dan kenegaraan tertinggi, seperti khalifah atau presiden untuk zaman tidak ada khalifah seperti saat ini, karena hadits itu menggunakan kata wallau amrahum (menyerahkan urusan kekuasaan mereka). Dan, latar belakang hadits ini juga disebabkan karena terpilihnya seorang wanita sebagai pemimpin negara di Persia. Sehingga kepemimpinan di bawah level itu tidak mengapa, seperti pemimpin sebuah departemen, kepala daerah, kepala sekolah, ketua senat, dan lainnya. Imam Abu Hanifah membolehkan wanita menjadi Qadhi (Hakim) untuk masalah-masalah khusus wanita.
Ketiga, melarang kepemimpinan wanita kecuali calon-calon lainnya adalah laki-laki yang dikenal zalim, maka keadaan itu adalah situasi khusus yang membolehkan wanita –yang layak- menjadi pemimpin. Sebab kezaliman laki-laki tersebut –yang dapat mendatangkan petaka bagi rakyatnya- bisa dicegah dengan tidak memilihnya. Itu pun sifatnya sementara, jika dalam perjalanannya bisa diketahui adanya laki-laki shalih yang cakap sebagai pemimpin, maka wanita itu dapat dicopot lalu digantikan oleh laki-laki tersebut. Inilah pendapat Al ‘Allamah Abul A’la Al Maududi Rahimahullah.
Kami memandang, jika suatu tempat, zaman, dan situasi, tak ditemukan satu pun figur laki-laki yang cakap menjadi pemimpin –kuat, amanah, terjaga, dan berilmu- maka itu adalah berita duka cita bagi kaum laki-laki. Bagaimana bisa dari sekian banyak laki-laki di sebuah negeri tidak ada laki-laki pantas memimpin negaranya? Walau pun di level terendah ?!
Jika masih bisa diusahakan dan ditemukan adanya laki-laki yang layak menjadi pemimpin, walau dia sekadar yang terbaik di antara yang terburuk, maka mendahulukan mereka adalah lebih utama dalam rangka menjalankan perintah Allah Ta’ala secara wajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar