Jumat, 13 April 2012

Memahami Makna Politik

Ali Salam
 
 
Asumsi kita selama ini terlebih masyarakat awam, bahwa politik itu jelek bahkan segelintir orang memaknai politik itu “jahat” karena ulah para pelaku politik yang pada umumnya bernuansa negatif, syarat kepentingan pribadi dan kelompok dan tidak mengindahkan kemaslahatan masyarakat luas. Dan yang lebih tidak enak lagi adalah adanya pandangan dan bahkan anjuran dari segelintir orang bahwa agama jangan dicampur aduk dengan politik, para kiyai, alim ulama, tuan guru, jangan masuki dunia politik karena akan menghancurkan kredibiltasnya sebagai tokoh agama, padahal sejatinya politik tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan manusia, termasuk dengan para tokoh agama dan politik amat berperan serta dianggap penting dalam kehidupan manusia Kenapa..?
Menurut Prof. Miriam Budiharjo, pentingnya masalah politik, karena sejak dahulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber alam, atau perlu dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga negara merasa bahagia dan puas. Ini adalah politik, ungkap Prof.Miriam. Kaitan antara politik dengan agama (terutama agama Islam), salah seorang tokoh dan penulis Islam, Dr.M.Dhiauddin Rais, dalam bukunya Teori Politik Islam, mengatakan : “Sistem yang dibangun oleh Rasulullah saw. dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah, jika dilihat dari segi praksis dan diukur denhgan variable-variabel politik di era modern, tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religious, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motof-motifnya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus karena hakekat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhira” ungkap Dhiauddin. Pendapat dan ungkapan Dhiauddin ini di amini oleh beberapa tokoh dan pemuka Islam dunia, antara lain, Dr.Ali Mahir, mantan Perdana Menteri Mesir, Zaki Abdul Qadir, salah seorang pemimpin redaksi Koran Al-Akhjbar dan salah seorang tokoh jurnalis Mesir, Syekh Muhammad Abu Zahrah, guru besar Syariat Islam diFakultas Hukum Cairo University, Prof. Muhammad al-Khair Abdul Qadir, salah seorang sejarawan Sudan, dan beberapa tokoh Islam lainnya.
Apa yang disampaikan oleh Dr.M.Dhiauddin Rais di atas, juga sejalan dengan pendapat dari beberapa ilmuwan dunia lainnya seperti ; Dr.V.Fitzgerald dalam bukunya berjudul “Muhammedan Law” yang mengatakan bahwa “ Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada decade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain”.
Dr. Schacht , mengatakan : “ Islam lebih dari sekedar agama , mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebi sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan”, Dan Prof.R.Strothmann; juga mengatakan bahwa : “Islam adalah suatu fenomena agama dan politik karena pembangunnya adalah seorang nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau seorang negarawan””.
Sebagai gambaran dan bukti sejarah bahwa Islam merupakan agama sekaligus sistem politik merupakan factor yang inheren dalam sistem Islam,antara lain adalah hak Berijtihad, oleh karena itu dibutuhkan faktor lain yang bersifat aktif yang berfungsi sebagai unsur yang mengeluarkan kekuatan yang terimpan itu. Islam telah menjamin keberadaan faktor ini, saat ia mengakui keberadaan prinsip-prinsip seperti prinsip kebebasan berfikir bagi setiap individu, atau dengan kata lain terdapat pengakuan Islam akan hak individu untuk berfikir independen dan hak individu itu untuk mengikuti hasil yang dicapai oleh pemikirannya itu, dan hanya mengikuti kata hatinya. Inilah prinsip yang diakui dalam kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih dengan nama Ijtihad. Ijtihad telah diakui sebagai salah satu sumber hukum Islam, tidak bisa dipisahkan dengan politik, dan masih banyak lagi bukti-bukti sejarah lainnya yang menunjukkan bahwa agama (Islam) tidak bisa dipisahkan dengan politik.
Buruknya citra dan makna politik sekarang ini adalah merupakan regulasi dari ulah oknum pelaku politik yang mungkin belum memahami dan/atau tidak mau tau makna hakiki dari politik yang jauh dari makna politik yang sesungguhnya ketika politik (ilmu politik) baru lahir dan dikembangkan terutama di negara/dunia Barat antara lain oleh filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles di abad ke-5 S.M. yang menganggap Politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik. Di dalam polity semacam itu manusia akan hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. Peter Merkl salah seorang ilmuan politik dalam bukunya Continuity and Change, mengatakan “ Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan social yang baik dan berkeadilan (Politics, at its best is a noble quest for a good order and justice).
Prof. Miriam Budiardjo mengatakan : “pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politic) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat kea rah kehidupan bersama yang harmonis”. Namun dalam realitanya, banyak kegiatan-kegiatan tak terpuji dari para oknum pelaku politik, dan banhyak pula peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) yang terkadang jauh dari upaya mewujudkan kebahagiaan dan keadilan masyarakat banyak, sehingga muncullah anggapan bahwa poltiik (bermain politik) itu adalah permainan kotor, Politik, dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan , kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri (Politic as its wort is a selfish grab for power, glory and riches) ungkap peter Merkl.
Sekarang ini banyak kita dengar dan lihat ulah para politikus yang berbuat dan bertindak sesuai yang dikemukakan oleh Peter Markl diatas, yakni untuk mendapatkan/memperebutkan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan, walau dalam teori dan ungkapan mereka mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan dan perbuat itu untuk kepentingan masyarakat, namun kata orang jauh panggang dari api. Para wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan aspirasi, keinginan dan kebutuhan masyarakat yang dia wakili, hanya pinter dan pandai berucap dan mengumbar janji. Mereka baru mendekati rakyat ketika mereka ada maunya, ketika akan ada pemilu legislative, pemilu Presiden dan atau pemilukada, guna mendapatkan suara rakyat, dan setelah mereka dapatkan apa yang diinguinkan/ dimaui, lantas mereka menghilang, tidak lagi mau menengok rakyat yang memilihnya, mereka sibuk dengan upaya mencari kekuasaan, kedudukan dan kekayaan, paling-paling yang di tengok dan diperhatikan adalah partai Politik yang mengusungnya, sehingga adalah benar apa yang disebutkan oleh Permadi (mantan anggota DPR RI dari F-PDI yang mengundurkan diri karena tidak tahan berlama-lama bergelut dengan suasana yang penuh permainan kotor sebagian anggota dewan, wakil rakyat) dengan mengatakan bahwa saat ini sudah tidak ada lagi wakil rakyat, yang ada adalah Wakil Parpol, karena yang diperhatikan dan diperjuangkan adalah kepentingan Parpol, bukan kepentingan rakyat. Ironis memang…
Tengok dan lihatlah bukti riel permainan kotor itu, ketika aka ada Pemilu, terutama Pemilukada (pemilihan Kepala daerah), untuk bisa menjadi calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) sang calon harus mengeluarkan puluhan milyar uang rupiah. Ketika Pemilukada dilakukan oleh DPR/DPRD. Sang calon harus mengeluarkan dan membayar milyaran rupiah kepada Parpol pengusung dan kepada anggota dewan agar sang calon bisa terpilih, belum lagi sejumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk kampanye, tim sukses dan lainnya. Kita tidak tau persis, apa gerangan yang menjadi bahan pertimbangan sang calon untuk ikut serta dalam Pilkada dengan sanggup mengeluarkan dana sekian banyak itu. Adalah sangat tidak yakin kita untuk mempercayai kampanye sang calon yang mengatakan bahwa dia ikut mencalonkan diri jadi Kepala Daerah karena merasa terpanggil untuk ingin mensejahterakan masyarakat banyak. Apa betul..?? apa tidak merasa terpanggil untuk merebut kekuasaan dan kedudukan untuk memperkaya diri..?? sebab akal sehat kita mengatakan bahwa, jika saja sang calon betul-betul terpanggil untuk mensejahterakan masyarakat, dan ikhlas berkorban untuk rakyat, kenapa uang yang dia keluarkan untuk membeli suara parpol, membeli suara wakil rakyat dan membeli suara rakyat itu, tidak digunakan saja secara ihklas untuk kepentingan dan kemaslahatann ummat, tanpa harus menjadi Kepala Daerah, bukankah menjadi pemimpin itu adalah pekerjaan yang amat berat yang harus dipertanggung jawabkan dunia akherat ?
Akal sehat kita juga mengatakan bahwa janji-ianji yang diungkap oleh sang calon adalah janji-janji palsu yang sukar direalisir dengan perhitungan, untuk menjadi calon Kepala daerah, misalnya menjadi Bupati/Walikota, pengalaman beberapa mantan tim sukses calon mengatakan bahwa seorang calon Bupati/Walikota harus siap dengan dana minimal 20 M.
Nah kalau saja misalnya sang calon terpilih menjadi Bupati/Walikota dengan gaji bersih yang halal maksimal 100 juta/bulan, maka dalam satu tahun ia akan mendapatkan gaji 1,2 M. dan selama 5 tahun kepemimpinannya ia akan memperoleh 6 M. Terdapat sisa kurang sebesar 20 M – 6 M = 12 M. Nah darimana ia akan mendapatkan sisa kurang sebesar 12 M itu agar ia tidak rugi, sesuai perhitungan ekonomis ? satu-satunya jalan yang harus ia lakukan adalah dengan ber KKN ria…. Maka nya kita lihat sudah puluhan Kepala daerah di Indonesia ini yang menikmati sisa hidupnya di balik sel penjara…berkumpul dan bergaul dengan para insan pelaku tindak kriminal lainnya… Tidakkah keadaan ini dijadikan pembelajaran bagi pelaku politik yang belum menjadi penghuni hotel prodeo itu..?? Wallua’lambissawab.
Kembali ke lap top kata Tukul Arwana di acara Bukan Empat Mata….
Keadaan dan kejadian-kejadian seperti di atas yang turut serta mendorong pemikiran banyak orang bahwa politik itu jelek/jahat. Sampai kapan keadaan seperti ini akan terus berlangsung? Sampai moral dan etika berpolitik kita berubah dan kembali pada tindakan dan perbuatan yang berpangkal pada makna politik yang sesungguhnya.
Tapi harapan dan impian itu (mungkin) hanya akan jadi hayalan kita semata, sebab semakin hari dikala katanya orang, dunia sudah di akhir zaman, moral dan etika kita semakin tidak menentu dan tidak terarah, sebagaimana kita baca, kita dengar dan kita lihat melalui media massa dan media elektronik, ulah para politikus dan birokrat yang semakin membabi buta, pelayanan public yang semakin jauh dari harapan walaupun telah ada berbagai aturan yang seharusnya mendasari kita untuk berbuat dan bertindak dalam memberikan pelayanan prima kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara, jerit tangis rakyat kecil yang menanti kejujuran dan mengharapkan kesejahteraan dianggap sebagai tangis anak kecil yang bisa di atasi dengan hanya bujuk rayu spontanitas yang tak bermakna apa-apa ketika jerit tangis itu telah mereda. Para politikus, hanya geram dimuka forum resmi dan tidak resmi, setelah itu kembali melunak mengikuti arus yang meng-aman-kan dirinya, para birokrat sebagai perencana dan pelaksana administrasi pemerintahan dan pembangunan, asyik berkolaborasi di atas panggung sandiwara dunia yang penuh rekayasa dan kepalsuan dan mereka baru sadar ketika sudah tidak lagi menduduki kursi empuk dan kembali menjadi rakyat biasa.
Makanya kita tidak terperangah ketika Karni Ilyas pemandu acara Jakarta Lawyer Club di TV One dalam satu sessi acara berseloroh mengatakan “negara kita (Indonesia) hancur lebur” ketika dalam acara itu terbongkar “rahasia” KPU sebagai penyelenggara Pemilu, katanya juga dalam tubuh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga atau terminal terakhir penegakan Hukum di negara Hukum kita ini, juga tersembunyi permainan kotor yang seharusnya tidak boleh terjadi, walaupun saling serang dan membela diri antara Ketua Mahkamah Konstitusi , Prof.M.Mahfud, MD. dengan mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Arsyad Sanusi, belum jelas siapa pemenangnya, tapi setidak-tidaknya keadaan ini akan semakin menambah keruh suasana kebathinan kenegaraan kita.
Azab hukuman peringatan dari Yang Maha Kuasa, seperti gempa bumi, banjir, gunung meletus, tanah longsor dan berbagai peringatan Allah swt lainnya, juga berbagai akumulasi ketidak puasan masyarakat yang disampaikan melalui berbagai cara dan tindakan seperti audisi dengan Legislatif dan eksekutif, unjuk rasa, demonstrasi, mosi tidak percaya, dan lainnya tidak membuat kita sadar bahwa kita telah melanggar ketentuan yang telah digariskan Allah Yang Maha Esa dan Maha Segalanya, serta ketentuan aturan yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Pemerintah, setan iblis berpestapora merayakan kemenangannya yang telah dapat mempengaruhi ummat manusia……Inilah salah satu akibat dari ketidakmampuan kita menerapkan perilaku politik yang sesungguhnya.[Sasak.Org]. http://alisalam-jawabarat.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar