Undang-Undang
Pemilu yang mengharuskan sebuah partai peserta pemilu sebelumnya
mengganjal Partai Keadilan untuk turut dalam pelaksanaan pemilihan umum
tahun 2004. Tetapi, sebuah siasat ditemukan dengan membuat partai baru
bernama Partai Keadilan Sejahtera. Baju baru untuk orang-orang yang
sudah ada sebelumnya, kira-kira begitulah Partai Keadilan Sejahtera.
Tumbangnya
Orde Baru dan munculnya gerakan reformasi pada 1998 di Indonesia
mengantar sebuah babak baru lagi bagi gerakan Tarbiyah. Berbagai partai
bermunculan, tidak saja belasan atau puluhan jumlahnya, tapi ratusan.
Dan,
salah satu partai baru yang ikut meramaikan suasana tersebut adalah
Partai Keadilan, sebuah partai yang bermetamorfosis dari kelompok
dakwah, gerakan Tarbiyah.
Partai
Keadilan didirikan tanggal 20 Juli 1998, tapi secara resmi baru
dideklarasikan pada 9 Agustus 1998 di halaman Masjid Al-Azhar, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan.
Singkat cerita, berbondong-bondonglah para kader Tarbiyah, mendeklarasikan dirinya pula sebagai kader Partai Keadilan.
Saya
berusaha membatasi untuk tidak terlalu berkutat dan membahas tentang
fenomena Partai Keadilan. Karena itu, izinkan saya langsung mengajukan
sebuah fakta bahwa PK dinyatakan sebagai salah satu partai yang masuk
dalam tujuh besar partai pendulang suara. Dengan cara dan sistem sel
yang telah terbentuk dalam kultur Tarbiyah, dengan semangat dan kerja
keras berbagi kebaikan, sebetulnya fenomena mencuatnya PK sebagai partai
pendulang suara yang efektif sangat bisa dipahami. Sebab, partai ini
adalah partai kader.
Pada
Pemilihan Umum 1999, Partai Keadilan berhasil meraup sebanyak 1.436.563
suara umat Islamdi seluruh Indonesia. Artinya, PK berhasil mendapatkan
1,36 % dari total suara sah hasil pemilu 1999. Satu peringkat di bawah
Partai Bulan Bintang (PBB) yang memproklamasikan diri sebagai penerus
cita-cita Masyumi. PBB yang dipimpin oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra
ini mendapatkan 2.069.708 suara.
Lewat
pemilu itu, PK berhasil mendudukkan seorang kadernya, Nur Mahmudi
Ismail dalam kabinet Gotong Royong, memimpin Departemen Kehutanan dan
Pertanian.
Namun,
itu pun tidak berlangsung lama, setelah Presiden Abdurrahman Wahid
lengser, Nur Mahmudi juga dilengserkan dan diganti. Presiden Megawati
menunjuk salah seorang fungsionarisnya sebagai Menteri Kehutanan.
Meskipun
relatif singkat, Nur Mahmudi, seorang kader Tarbiyah, yang sejak awal
tulisan ini dijelaskan berciri pada kekuatan akhlak dan moral, mencatat
rekor pemberantasan praktik KKN yang cukup signifikan. Bahkan, pada masa
kepemimpinan Nur Mahmudi pula, Bob Hasan, Raja HPH berhasil dikirim ke
Nusa Kambangan.
Sang
kakak pun meleburkan diri pada diri sang adik. Partai Keadilan
menggabungkan dirinya menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Tak hanya bisa
turut dalam Pemilihan Umum legislatif lalu, PKS juga menjadi partai kuat
yang memenangkan suara di banyak daerah. Di DKI Jakarta misalnya, PKS
memimpin perolehan suara di urutan pertama, disusul oleh partai baru,
Partai Demokrat di urutan kedua. Selain di Jakarta, di propinsi Maluku
Utara juga memimpin perolehan suara.
PK
memperoleh 8.325.020 suara atau 7,34% dari total suara sah yang
dihitung oleh KPU. Terjadi lonjakan suara berjuta-juta besarnya dari
suara sebelumnya yang hanya 1.436.563.
Sedangkan
Partai Bulan Bintang, yang pada pemilu 1999 berada di atas PK, kini
jumlahnya hanya 2.970.487. Bahkan, berada pada peringkat delapan di
bawah Partai Amanat Nasional yang juga menurun jauh jumlah perolehan
suaranya.
Kerja
keras kader PKS lewat dakwah, lewat gerakan Tarbiyah-nya membuktikan
bahwa Partai Islam layak dipilih dan diharapkan. Tetapi di balik itu,
saya sebetulnya memendam kekhawatiran atas komunitas yang punya potensi
besar ini. Sebuah kekhawatiran atas napas panjang dan endurance kerja
dakwah dari sebuah komunitas bernama Tarbiyah.
Sebelum
sampai ke sana, mari saya ceritakan dulu tentang satu buku lagi yang
berkaitan dengan Tarbiyah, dan kali ini mengupasnya dalam kemasan nama
PKS, Partai Keadilan Sejahtera. Sebelum saya melakukan perjalanan ke
Maluku, seorang teman lama saya, Aay Muhammad Furkon menerbitkan tesis
S2 menjadi sebuah buku yang berjudul “Partai Keadilan Sejahtera;
Ideologi dan Praksis K aum Muda Muslim Indonesia Kontemporer.”
Dalam
tesisnya, Furkon mencoba mencari dan menggali akar kelompok Tarbiyah,
secara historis dengan mencoba menguhubungkannya dengan gerakan-gerakan
Islam terdahulu di Indonesia. Tesis ini juga dibedah secara umum di
Perpustakaan Nasional dengan mendatangkan William Lidle, Indonesianis
asal Ohio University; Anis Matta, Sekjen PKS; dan Aay Muhammad Furkon
sebagai pembicara.
Bill
lidle mendapat informasi yang lebih kompleks tentang pengaruh Ikhwanul
Muslimin di Indonesia daripada informasi yang ia dapatkan dari buku
tadi.
Saya
mengucapkan terima kasih kepada teman saya yang telah berbaik hati
untuk mem-forward-kan email yang dia dapatkan dari Prof. William Lidle
kepada saya. Dalam suratnya, Prof . William Lidle menuliskan:
Terima
kasih atas kiriman makalah Anda yang sangat menarik sebagai analisis
tentang Tarbiyah dan PKS, dan juga sebagai cermin harapan Anda.
Ketika
saya membaca tulisan Furqon, saya mulai mendapat sebuah gambaran
tentang PKS yang lebih kompleks, berlapis, ketimbang gambaran yang saya
peroleh sebelumnya dari buku Ali Said (yang juga saya kagumi), dan
tulisan-tulisan lain. Dan kompleksitas itu menarik sekali, pertama, dari
segi pengertian pokok saya tentang Islam dan politik di Indonesia,
kedua, dari segi yang lebih umum. Mengenai yang pertama, saya dulu
berpendapat bahwa strategi politik M. Natsir selama Orde Baru telah
ggal, hampir total. Natsir dan teman-teman mendirikan DDII pada awal
Orde Baru sebagai alat prapolitik, jaringan kader, dan kesadaran
ideologis. Mereka mengharapkan hal itu bisa digerakkan pada waktu yang
tepat di masa depan ketika Soeharto menjadi lemah atau tidak berkuasa
lagi. Kegagalan mereka, saya ukur dengan persentase suara yang diterima
dalam pemilu 1999 oleh PBB, yang mengaku sebagai kelanjutan tradisi
Masyumi/DDII/Natsir.
Sebaliknya,
saya menganggap Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid sebagai pemimpin
politik/sosial yang berhasil. Keberhasilan mereka, saya ukur dengan
persentase suara yang diberikan kepada partai-partai yang pro-syariat.
Hanya 14 %, berbeda sekali dengan persentase suara yang diberikan pada
partai-partai pro-syariat pada pemilu 1955, di atas 40 %.
Nurcholis
Madjid dan Abdurrahman Wahid memainkan peran penting dalam perubahan
itu. (saya akan lampirkan artikel saya yang terbaru tentang Islam dan
Politik di Indonesia, di sana, Anda bisa melihat analisis saya tentang
dua tokoh tersebut).
Bartita
baru yang saya dapat dari buku Furqon adalah bahwa cikal bakal gerakan
Tarbiyah dan PKS juga bisa dirunut kepada natsir dan DDII. Tentu,
seperti Anda akui juga, di belakang atau sebelum Natsir/DDII adalah
Ikhwanul Muslimin, hasan Al-Banna dan Sayyid Quthb. Ide-ide dan juga
struktur pokok gerakan Tarbiyah dan PKS berasal dari atau diilhami oleh
Ikhwanul Muslimin.
Tetapi,
natsir (juga Bang Imad tentunya) memainkan peran penting untuk
menjembatani dua gerakan tersebut, yaitu IM di Mesir dan tarbiyah atau
PKS di Indonesia. Kesimpulan baru saya adalah bahwa natsir juga berhasil
sebagai politisi, sebab selama periode pasca Orde Baru. Benihnya baru
ditanam pada pemilu 1999, tetapi pohonnya kini tumbuh dengan pesat dan
sehat, seperti kita lihat pada pemilu 2004.
Dari
segi teoritis, pengertian atau kesimpulan baru ini terasa sangat
menggetarkan, exciting. Sebab, pendekatan teoritis saya, atau
setidak-tidaknya yang sedang saya kembangkan, memberi peran utama kepada
tokoh, individu. Saya tidak senang dengan pendekatan-pendekatan umum di
ilmu-ilmu sosial yang selalu menekankan kekuatan-kekuatan
sosial/budaya/ekonomi an sich.
Bagi
saya, setiap kekuatan itu, apakah kapitalisme atau Islam, hanya punya
dampak pada sebuah masyarakat melalui tindakan manusia, khususnya para
pemimpin. Misalnya, saya sudah lama percaya, sebab buktinya meyakinkan,
bahwa Cak Nur dan Gus Dur memainkan peranan sangat penting dalam
perkembangan hubungan Islam dan politik di Indonesia. Tanpa mereka,
sejarah politik Indonesia akan lain.
Belakangan
ini, saya mulai mempelajari sejarah gerakan Islamis di Timur Tengah,
dan saya menemukan hal yang sama: tanpa hasan Al-Banna dan Sayyid Quthb,
sejarah Islamis di seluruh dunia Islam akan lain. Kini, ada penemuan
baru yang perlu dianalisis lebih lanjt: ternyata, M. Natsir juga menjadi
tokoh penting, bukan hanya pada zaman Demokrasi Parlementer, melainkan
pada masa Orde Baru pula.
Saya
tidak tahu apakah saya berhasil menyampaikan kesimpulan saya yang baru
ini pada acara bedah buku Furqon, tetapi memang begitulah pendapat saya.
Maaf, jawaban ini sudah kelewat panjang dan saya belum mengomentari
argumen-argumen Anda sendiri yang menarik, misalnya tentang hubungan
Tarbiyah dengan PKS di masa depan.
Sedangkan
pak Anis Matta, saya menangkapnya tidak keberatan jika tesis ini
mencoba mencarikan akar historis dalam konteks ke-Indonesia-an bagi
gerakan Tarbiyah. Bagi saya sendiri, meskipun ada keterkaitan sejarah
antara tarbiyah dengan orang-orang seperti M. Natsir, K.H. Bustami
Darwis, atau dengan organisasi seperti Perti atau Masyumi, saya tetap
akan mengatakan bahwa Tarbiyah lahir dari gagasan dan besar dengan
gagasan Ikhwanul Muslimin. Itulah, fakta sejarah.
Karena
itu pula, pada era perang terhadap terorisme yang dikobarkan oleh
negara adidaya, Amerika, ini menjadi peluang empuk untuk menjerat
gerakan dakwah ini. Tercatat atau tidak, diumumkan atau tidak, mereka
mencoba mengaitkan dan mencoba mencari trigger untuk menarik masuk
gerakan Islam tertua di dunia, Ikhwanul Muslimin, ke dalam kancah perang
yang tak terbatas itu.
Bahkan,
para pemikir dan kelompok think tank Amerika telah menempatkan sosok
hasan Al-Banna dan Sayyid Quthb, tokoh pemimpin dan ideolog di Ikhwanul
Muslimin, sebagai the philosopher of terror.
sumber : http://mujahidsamurai.multiply.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar