Oleh: Farid Nu’man Hasan
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.(QS. Adz Dzariyat (51): 55)
Ini adalah fenomena baru, walau tidak terlalu baru. Dahulu kami pernah melihat di sebuah video klip konser nasyid di sebuah kampus negeri ternama di tanah air. Mual melihatnya. Tapi, kami mencoba berbaik sesangka, dan memang seharusnya demikian; yakni bahwa mereka adalah orang yang baru tersentuh tarbiyah, bisa jadi romantika kejahiliyahan masih ada dan tidak secepat itu bisa berubah.
Lalu, kami tak pernah lagi memperhatikan dunia nasyid, yang kami tahu hanyalah bahwa nasyid saat ini telah menggunakan musik dengan berbagai jenisnya. Padahal dahulunya diharamkan, bahkan nasyid Al Quds (1993) yang hanya menggunakan bedug sempat terjadi pro kontra. Dahulu Ikhwah tidak menganggap nasyid terhadap; hadad alwi dan sulis, NGeK (Nasyid Gang Kober) yang dimiliki mahasiswa Fakultas Sastra UI (sekarang FIB), apa pasal? Karena mereka menggunakan musik, seperti gitar, piano, dan biola! Yah, cepat sekali pagi menjadi malam. Nasyid saat ini, sudah melebihi mereka dalam liberasi menggunakan alat-alat musik. Mereka terjatuh pada kubangan yang dahulu mereka haramkan. Perbedaan dengan dangdut, pop, rock, jazz, dan ganre musik lainnya hanya pada syair dan bumbu teriakan takbirnya –yang seakan sekedar syarat saja untuk tetap disebut nasyid-, ada pun gaya penyanyinya, lighting, dan setting panggung, beti (beda-beda tipis) dengan yang lain.
Sementara di penonton, mulai terjadi ikhtilath, histeris melihat munsyid beraksi, dan mereka menghentakan tubuh dan menggoyangkan kaki, sebagaimana yang kami lihat langsung di aksi Munasharah Palestina di Monas, beberapa hari yang lalu. Entah adakah jiwa yang berontak saat itu melihat ini?
Kira-kira tahun 1996-1997, aktifis dakwah heboh dan risih dengan rencana kelompok nasyid akhwat BESTARI untuk masuk dapur rekaman walau hanya untuk kalangan wanita. Apakah ada jaminan hanya akhwat yang mendengar? Terjadilah pro – kontra, namun masalah ini hilang dengan sendirinya. Itu dahulu. Saat ini, tak ada lagi yang protes ketika wanita bernyanyi di atas panggung di depan ribuan laki-laki yang bukan mahramnya, saat Munasharah di Monas. (Saat itu kami baru sampai, kami dan isteri hanya bisa istighfar dan menggelengkan kepala)
Menurut mayoritas fuqaha (ahli fiqih/juris) mendengarkan nyanyian adalah HARAM, yakni JIKA:
1. Jika dibarengi dengan hal yang munkar
2. Jika ditakuti mengantarkan kepada fitnah seperti terperangkap oleh wanita, atau remaja yang masih sangat muda, atau bangkitnya syahwat yang mengantarkannya pada zina
3. Jika membuat pendengarnya meninggalkan kewajiban agama seperti shalat, dan meninggalkan kewajiban dunia yang harus dilakukannya, ada pun jika sampai meninggalkan perbuatan sunah maka itu makruh, seperti meninggalkan shalat malam, doa di waktu sahur, dan semisalnya. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/269. Sunan Al Baihaqi, 5/69, 97. Asna Al Mathalib, 4/44, terbitan Al Maktabah Al Islamiyah. Hasyiah Al Jumal, 5/380, terbitan Dar Ihya At Turats. Hasyiah Ibnu ‘Abidin, 4/384 dan 5/22, Hasyiah Ad Dasuqi, 4/166. Al Mughni, 9/175, Al Manar Ats Tsalitsah. ‘Umdatul Qari, 6/271, terbitan Al Muniriyah)
Artinya kebolehannya tidak mutlak, mesti diberikan syarat. Ada pun pendapat Syafi’iyah, Malikiyah, dan sebagian Hanabilah, bahwa hal itu (nyanyian untuk menghibur jiwa) adalah makruh. Jika mendengarkannya dari wanita ajnabiyah (bukan mahram) maka lebih makruh lagi. Kalangan Malikiyah menerangkan sebab kemakruhannya, karena mendengarkan nyanyian menghilangkan muru’ah (citra diri yang baik/wibawa). Sedangkan Syafi’iyah mengatakan; “ Di dalamnya terdapat hal yang melalaikan.” Sedangkan Imam Ahmad menjelaskan sebabnya: “Aku tidak menyukai nyanyian , karena nyanyian dapat menumbuhkan nifaq di hati.” (Hasyiah Ad Dasuqi, 4/166. Al Mughni, 9/175. Asna Al Mathalib, 4/344)
Para ulama yang membolehkan pun bukan tanpa syarat, dan jika syarat ini dilanggar maka mereka tetap mengharamkan, sebagaimana dikatakan Imam Al Ghazali Rahmatullah ‘Alaih dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah dalam kitab Fiqh Al Ghina wal Musiqy fi Dhau’il Quran was Sunnah.
Syarat tersebut adalah;
1. Syair tidak boleh bertentangan dengan syariat. (Tahun 2000an, sempat ada nasyid berjudul: Tuhan ada di mana-mana, ini adalah kalimat kufur, sebagaimana yang dikatakan Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu)
2. Gaya menyanyikannya tidak mengandung maksiat. (Di antaranya adalah tidak meniru-niru gaya orang kafir dan fasiq ketika bernyanyi)
3. Nyanyian tersebut tidak dibarengi sesuatu yang diharamkan. (Syaikh Al Qaradhawi memasukkan ikhtilath termasuk hal yang diharamkan ada dalam pertunjukkan nyanyian)
4. Tidak berlebihan dalam mendengarkannya.
5. Terkait dengan keadaan dan perilaku pendengar (penonton). (Imam Al Ghazali pun menerangkan bahwa kebolehan mendengarkan nyanyian bisa menjadi haram karena perubahan pada perilaku pendengarnya saat mendengarkan/menontonnya. Ini perlu disadari oleh para penikmat nasyid yang jingkrak-jingkrak dan histeris itu ….)
Kami hanya ingin mengatakan: “Seandainya pun itu tidak haram, seharusnya malu terhadap status sebagai aktifis Islam. Seharusnya jidat yang hitam dan jenggot bisa menahan diri dari itu …. .”
Demikian ini adalah sikap para ulama jika lagu (nasyid) tanpa musik -yang semakin tidak dikenal oleh generasi tarbiyah saat ini (karena generasi tua pun meninggalkannya!), lalu bagaimana jika dengan musik?
Ada pun musik, Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة مزمار عند نعمة ورنة عند مصيبة
“Ada dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat; suara seruling ketika mendapatkan kenikmatan dan raungan ketika musibah.” (HR. Al Bazzar, para perawinya: tsiqat. Syaikh Al Albani menghasankan. Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib No. 3527)
Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:
الدف حرام والمعازف حرام والكوبة حرام والمزمار حرام.
“Rebana adalah haram, al ma’azif adalah haram, gendang adalah haram, dan seruling adalah haram.” (HR. Al Baihaqi, 10/222. Dari jalan Abdul Karim Al Jazari dari Abu Hasyim Al Kufi. Syaikh Al Albani mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Tahrim Alat Ath Tharb, Hal. 92. Cet. 3, 1426H-2005M. Muasasah Ar Rayyan)
Apakah Al Ma’azif? Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:
اسم لكل آلات الملاهي التي يعزف بها، كالزمر، والطنبور، والشبابة، والصنوج.
“Nama untuk semua alat-alat musik yang dimainkan, seperti seruling, tamborin, syabaabah (sejenis seruling juga), simbal (sejenis alat musik).” (Siyar A’lam An Nubala, 21/158)
Sedangkan ‘Alim Rabbani Al Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengartikan:
أن المعازف هى آلات اللهو كلها، لا خلاف بين أهل اللغة فى ذلك.
“Bahwa Al Ma’azif adalah semua alat-alat musik, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli bahasa tentang itu.” (Ighatsatul Lahfan, Hal. 260)
Imam Hasan Al Bashri Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
ليس الدفوف من أمر المسلمين في شيء وأصحاب عبد الله يعني ابن مسعود كانوا يشققونها.
“Rebana sama sekali bukan berasal dari budaya kaum muslimin, dan para sahabat Abdullah bin Mas’ud merobek-robeknya.” (Tahrim Alat Ath Tharb, Hal. 103-104)
Imam Abu Yusuf Rahimahullah –murid dari Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu, berkata, tentang mendengarkan suara alat musik dari rumah seseorang:
أدخل عليهم بغير إذنهم، لأن النهى عن المنكر فرض
“Masuklah ke rumah mereka dengan tanpa izin, karena mencegah kemungkaran adalah wajib.” (Ibid, Hal. 227)
Demikian di antara celaan terhadap musik dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sahabat, tabi’in, dan imam kaum muslimin.
………………….
Sementara itu semakin banyak aktifis Islam, ikhwan dan akhwat, yang semakin tidak mengindahkan ini. Mereka tidak peduli (atau tidak tahu?), indhibath syar’i-nya menipis. Ringtone dipilih dari musik jahiliyah yang ngetrend atau pernah ngetrend, baik Barat atau Indonesia, yang membuat pendengarnya terasosiasi dan teringat dengan lagu jahiliyah tersebut, bahkan teringat dengan penyanyinya, lebih jauh lagi membawa manusia larut dalam kenangan lama ketika belum tersentuh Islam.
Ada juga di antara mereka yang mengkoleksi di HP, MP3, flashdisk, atau MP4, juga Lap top lagu-lagu barat dan Indonesia yang dicampur juga oleh murattal. Ketika berkumpul dengan orang baik, mereka menyetel murattal sebagai pencitraan, tapi dalam perjalanan atau dalam kesendirian mereka menyetel lagu tersebut. Bahkan ada juga yang tanpa malu menyanyikan lagu-lagu itu di depan orang lain yang terlanjur menilainya sebagai aktifis dakwah; ikhwan dan akhwat .. tak peduli dengan jilbab lebarnya, dan tidak peduli dengan itu semua. Emang gue pikirin! Mumpung murabbi tidak melihat (sayangnya, murabbinya pun juga demikian!)
Laa hawlaa wa laa quwwata illa billah …
Ini baru satu masalah; yaitu nasyid anak zaman sekarang. Masih menumpuk masalah lain; rapat pakai hijab tapi boncengan motor berdua dengan yang bukan mahram, chatting genit berawal membicarakan dakwah, SMS cinta yang dibumbui ‘jangan lupa shalat malam’, akhwat yang tabarruj (bersolek) dan memakai parfume di luar rumahnya, saling mengingkat janji padahal rencana nikah masih tiga tahun lagi, tidak berwibawanya institusi murabbi dalam memberikan pertimbangan memilih jodoh, nge –take person tertentu, patah hati lalu berhenti tarbiyah, bahkan ada yang sampai pada tingkat berzina, dan segudang masalah lainnya. Untuk kalangan ikhwah produk lama, tidak kalah masalah mereka; kejenuhan tarbiyah, malas amal da’awi, rumah tangga hambar, anak bermasalah, yang akhwat jilbab semakin pendek, yang ikhwan bosan dengan isterinya, dan seterusnya.
Ini memang bukan kejadian yang massiv, dan umumnya sangat personally dan kasuistis –bahkan bisa jadi ada yang mengatakan sebagai kejadian manusiawi dan lumrah, tapi tidak kita ingkari keberadaannya sudah mulai tidak dikatakan sedikit, bahkan ada yang keadaan dan kasusnya lebih tidak mengenakkan untuk diceritakan, dan lebih tidak pantas terjadi.
Maka, wajib bagi aktifis Islam untuk takut kepada Allah Ta’ala, membersihkan niatnya, serta semakin memahami dan menghayati apa yang dipelajarinya, lalu berpegang teguh kepadanya. Semoga Allah Ta’ala mengampuni kesalahan kita semua, dan membimbing kita ke jalan yang lebih baik ….
Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar