Islamedia - Hidup adalah perencanaan, sekecil apa pun itu. Apalagi persoalan besar seperti membentuk sebuah peradaban melalui anak-anak yang lahir dari perpaduan harapan orang tuanya. Makanya tak salah saya pun harus berhenti sejenak untuk merenungi sebuah pertanyaan yang kerap muncul dari banyak kenalan yaitu; berapa rencana jumlah anak yang ingin kami (saya dan istri) ‘ciptakan’? Dulu… dulu sekali ketika saya hanya berkutat dengan teori bagaimana persiapan untuk menjadi orang tua tentu betapa girang gembiranya melihat kebahagian para senior yang beranak banyak, atau kata orang jaman dulu anaknya susun paku, biasanya memiliki pemeo “Banyak Anak Banyak Rezeki”.
Lalu seperti apa saya menanggapi pertanyaan ini? Beberapa kali saya dan istri sering menambahkan poin jumlah anak dalam seri diskusi rencana-rencana keluarga kami ke depan. Menurut saya dan istri, ini adalah poin penting untuk membahas berapa banyak energi yang harus di keluarkan, disaving atau segudang persiapan lain ketika kita sudah memutuskan jumlah anak, jadi mencoba untuk keluar dari manejemen go with destiny. Walau pun harus bergulat dengan pemikiran jika merencanakan keluarga tidak berarti takut akan rezki Allah pada setiap anak yang dititipkan pada kita. Bahkan saya sangat memahami jika cinta saya tidak akan berkurang saat anak-anak berikutnya lahir, tapi hati itu sesungguhnya akan membesar dan menebar cinta pada setiap anak.
Bagi saya yang terlahir dari keluarga besar tentu pikiran dan pemahaman yang ada di benak saya adalah tidak jauh-jauh dari bagaimana membentuk sebanyak mungkin anak tentu akan sangat menyenangkan. Untuk menjawab pertanyaan ini saya biasanya kembali mereview sebagian kenangan saya yaitu bagaimana saya harus melewati dan menikmati status anak ke enam dari tujuh bersaudara dengan orang tua berpenghasilan pas-pasan. Apakah saya bahagia? Apakah semua kebutuhan saya terpenuhi? Saya mencoba mengingat-ingat kenangan itu. Ada suasana saya pernah protes jika akhirnya, harus menerima jatah baju bekas abang-abang saya yang sudah kekecilan bagi mereka, artinya baju baru hanya dapat dinikmati setahun sekali yaitu ketika hari raya, itu pun tidak lebih dari dua potong saja. Tentu saja saya yang kecil waktu itu hanya paham jika hari raya sama dengan baju baru, tanpa peduli jika kedua orang tua harus menambah deretan angka hutang yang harus ditutup dengan cara gali lobang tutup lobang.
Lalu saya pun tertawa-tawa mengingat sebagian memori dan keceriaan bersama saudara-saudara lelaki saya. Terkenang jika sapu lantai tidak cukup bertahan lama, karena kami menggunakannya untuk bermain pedang-pedangan hingga akhirnya sapu-sapu di rumah terkulai lemas bahkan tak jarang patah menjadi dua.
Nah, di antara kenangan itu semua membawa saya pada pemahaman jika kedua orang tua saya telah menjadi orang tua sesuai dengan kemampuan dan pemahaman mereka. Saya sangat tahu jika dulu orang tua saya menggunakan insting orang tuanya untuk menabur kasih sayang, sesekali mungkin sharing dengan orang yang lebih berpengalaman dan dengan sangat terbatas menerima kiriman bulanan sebuah majalah nasional yang salah satu pojoknya membahas tentang bagai mana mestinya menjadi orang tua. Selebihnya, rasa cinta yang menggununglah mengajarkan mereka menjalani peran sebagai orang tua dengan tujuh anak, sekali lagi sesuai dengan pemahaman mereka.
Bercermin dari penjelajahan kenangan inilah saya merenunginya. Saya ‘baru’ dikaruniai tiga orang putra, sudah dapat merasakan betapa tidak mudahnya untuk menjadi orang tua. Padahal jika saya bandingkan dengan kondisi orang tua saya dulu, tentu saya akan lebih banyak diberikan kesempatan oleh jaman saya untuk dapat menjadi super parent. Dari mulai seminar, workshop, video parenting, beragam buku dll. Secara logika tentu dengan segala kesempatan ini harusnya saya memiliki anak lebih dari orang tua saya atau dengan kata lain minimal delapan (hah?). Lalu benarkah analogi ini? Saya hanya dapat tersenyum sambil membayangkan betapa ‘meriah’nya rumah kami nantinya.
Kata orang bukan jamannya lagi jika sekarang harus beranak banyak. Mungkin logika ini dipicu dengan pemahaman materialistik bahwa sungguh tidak mudah menghidupi banyak mulut. Atau beranak banyak berarti menghabiskan setengah hidup untuk urusan kotoran bayi, popok dan makan berlepotan di mana-mana. Belum lagi tangisan yang memekakkan telinga. Atau alasan semuanya serba tidak murah, biaya pendidikan yang tinggi. Ah.. jika dicari pembenaran, maka akan banyak deretan alasan mengapa akhirnya banyak keluarga-keluarga modern menunda anak atau dua anak cukup.
Saya pernah menemukan seorang kenalan medadak asma jika melihat keluarga yang beranak banyak (di atas 5) sambil mendendangkan sebuah lagu “Si amat belum gede si entong nongol lagi” ditambah komentar “Ah..paling pintar nyetak anak doang,”.
Any way, kembali ke pertanyaan berapa jumlah anak yang ingin kami ‘ciptakan’? Jawabannya adalah saat ini dengan tiga anak, saya harus banyak mensyukuri titipan Allah ini. Untuk selanjutnya mempersiapkan diri untuk kehadiran anak-anak berikutnya dengan cara merencanakan setiap inchi kehidupan, menghadirkan setiap ruang kesadaran untuk menyambut anggota keluarga berikutnya. Intinya, saya harus menjadi orang kaya. Kaya harta, kaya ilmu, kaya jiwa, kaya cinta. Insya Allah berapa pun jumlah anak yang Allah titipkan, saya akan siap. Semoga!
Lalu seperti apa saya menanggapi pertanyaan ini? Beberapa kali saya dan istri sering menambahkan poin jumlah anak dalam seri diskusi rencana-rencana keluarga kami ke depan. Menurut saya dan istri, ini adalah poin penting untuk membahas berapa banyak energi yang harus di keluarkan, disaving atau segudang persiapan lain ketika kita sudah memutuskan jumlah anak, jadi mencoba untuk keluar dari manejemen go with destiny. Walau pun harus bergulat dengan pemikiran jika merencanakan keluarga tidak berarti takut akan rezki Allah pada setiap anak yang dititipkan pada kita. Bahkan saya sangat memahami jika cinta saya tidak akan berkurang saat anak-anak berikutnya lahir, tapi hati itu sesungguhnya akan membesar dan menebar cinta pada setiap anak.
Bagi saya yang terlahir dari keluarga besar tentu pikiran dan pemahaman yang ada di benak saya adalah tidak jauh-jauh dari bagaimana membentuk sebanyak mungkin anak tentu akan sangat menyenangkan. Untuk menjawab pertanyaan ini saya biasanya kembali mereview sebagian kenangan saya yaitu bagaimana saya harus melewati dan menikmati status anak ke enam dari tujuh bersaudara dengan orang tua berpenghasilan pas-pasan. Apakah saya bahagia? Apakah semua kebutuhan saya terpenuhi? Saya mencoba mengingat-ingat kenangan itu. Ada suasana saya pernah protes jika akhirnya, harus menerima jatah baju bekas abang-abang saya yang sudah kekecilan bagi mereka, artinya baju baru hanya dapat dinikmati setahun sekali yaitu ketika hari raya, itu pun tidak lebih dari dua potong saja. Tentu saja saya yang kecil waktu itu hanya paham jika hari raya sama dengan baju baru, tanpa peduli jika kedua orang tua harus menambah deretan angka hutang yang harus ditutup dengan cara gali lobang tutup lobang.
Lalu saya pun tertawa-tawa mengingat sebagian memori dan keceriaan bersama saudara-saudara lelaki saya. Terkenang jika sapu lantai tidak cukup bertahan lama, karena kami menggunakannya untuk bermain pedang-pedangan hingga akhirnya sapu-sapu di rumah terkulai lemas bahkan tak jarang patah menjadi dua.
Nah, di antara kenangan itu semua membawa saya pada pemahaman jika kedua orang tua saya telah menjadi orang tua sesuai dengan kemampuan dan pemahaman mereka. Saya sangat tahu jika dulu orang tua saya menggunakan insting orang tuanya untuk menabur kasih sayang, sesekali mungkin sharing dengan orang yang lebih berpengalaman dan dengan sangat terbatas menerima kiriman bulanan sebuah majalah nasional yang salah satu pojoknya membahas tentang bagai mana mestinya menjadi orang tua. Selebihnya, rasa cinta yang menggununglah mengajarkan mereka menjalani peran sebagai orang tua dengan tujuh anak, sekali lagi sesuai dengan pemahaman mereka.
Bercermin dari penjelajahan kenangan inilah saya merenunginya. Saya ‘baru’ dikaruniai tiga orang putra, sudah dapat merasakan betapa tidak mudahnya untuk menjadi orang tua. Padahal jika saya bandingkan dengan kondisi orang tua saya dulu, tentu saya akan lebih banyak diberikan kesempatan oleh jaman saya untuk dapat menjadi super parent. Dari mulai seminar, workshop, video parenting, beragam buku dll. Secara logika tentu dengan segala kesempatan ini harusnya saya memiliki anak lebih dari orang tua saya atau dengan kata lain minimal delapan (hah?). Lalu benarkah analogi ini? Saya hanya dapat tersenyum sambil membayangkan betapa ‘meriah’nya rumah kami nantinya.
Kata orang bukan jamannya lagi jika sekarang harus beranak banyak. Mungkin logika ini dipicu dengan pemahaman materialistik bahwa sungguh tidak mudah menghidupi banyak mulut. Atau beranak banyak berarti menghabiskan setengah hidup untuk urusan kotoran bayi, popok dan makan berlepotan di mana-mana. Belum lagi tangisan yang memekakkan telinga. Atau alasan semuanya serba tidak murah, biaya pendidikan yang tinggi. Ah.. jika dicari pembenaran, maka akan banyak deretan alasan mengapa akhirnya banyak keluarga-keluarga modern menunda anak atau dua anak cukup.
Saya pernah menemukan seorang kenalan medadak asma jika melihat keluarga yang beranak banyak (di atas 5) sambil mendendangkan sebuah lagu “Si amat belum gede si entong nongol lagi” ditambah komentar “Ah..paling pintar nyetak anak doang,”.
Any way, kembali ke pertanyaan berapa jumlah anak yang ingin kami ‘ciptakan’? Jawabannya adalah saat ini dengan tiga anak, saya harus banyak mensyukuri titipan Allah ini. Untuk selanjutnya mempersiapkan diri untuk kehadiran anak-anak berikutnya dengan cara merencanakan setiap inchi kehidupan, menghadirkan setiap ruang kesadaran untuk menyambut anggota keluarga berikutnya. Intinya, saya harus menjadi orang kaya. Kaya harta, kaya ilmu, kaya jiwa, kaya cinta. Insya Allah berapa pun jumlah anak yang Allah titipkan, saya akan siap. Semoga!
Alfi Rahman (Bendahara Umum DPW PKS Aceh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar